DjWirya radio

Rabu, Maret 17, 2010

RUMAH UNTUK ORANG TUAKU

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra`: 23)

Suatu hari, seorang ibu duduk membantu anak-anaknya mengulang-ulang pelajaran sekolah mereka. Ia memberikan sebuah buku gambar kepada anaknya yang masih kecil berusia empat tahun agar tidak mengganggunya dalam memberi penjelasan dan pelajaran kepada saudara-saudaranya yang lain.

Saat itu ia teringat bahwa ia belum menyiapkan makan malam untuk mertuanya yang sudah berusia lanjut yang hidup bersama mereka dalam sebuah kamar yang kecil yang khusus dibuat di luar rumah, yang terletak di beranda rumah mereka.

Biasanya dialah yang melayani dan mengurusnya selama ini. Dan suaminya merelakan ia melayani dan mengurus orang tuanya yang sudah tidak bisa beranjak dari kamarnya karena kesehatannya yang sudah menurun.

Maka iapun bergegas menyiapkan makanan untuknya sebelum pergi. Ia bertanya kepada mertuanya kira-kira bantuan apa yang bisa dilakukannya? Kemudian iapun pergi dan kembali mengurus anak-anaknya sebagaimana biasa.

Ia memperhatikan anaknya yang berusia 4 tahun yang sedang menggambar lingkaran dan kotak bujur sangkar lalu meletakkan tanda padanya. Si ibupun bertanya kepada anaknya, “Apa yang sedang engkau gambar nak?”

Si anak menjawab dengan polos, “Aku sedang meng­gambar rumah yang akan aku tempati sesudah aku besar dan menikah nanti.”

Jawaban anaknya membuat hati si ibu merasa gembira.

Kemudian si ibu bertanya lagi, “Dimanakah engkau akan tidur?” Kemudian si anak menunjukkan kotak-kotak bujur sangkar dan mengatakan, “Ini adalah kamar tidur, yang ini ruang dapur dan ini adalah ruang tamu.” Iapun menyebutkan satu persatu yang ia kenali di dalam ru­mahnya. Ia tidak menyisakan sebuah ruangan pun yang ada di dalam rumah dari gambarnya itu, seluruh ruangannya ia gambar. Kemudian anak tadi menggambar sebuah kamar yang kecil berada di luar rumah.

Si ibupun kagum dengan anaknya. Kemudian si anak berkata kepadanya, “Kamar di luar rumah ini untuk ummi, aku akan memberikannya kepada ummi untuk ditinggali seperti halnya kakek.”

Betapa terkejutnya si ibu mendengar celotehan anaknya itu.

Dalam hati, ia berkata, “Apakah kelak aku akan ditinggal seorang diri di luar rumah? Di bilik kecil di pekarangan rumah tanpa bisa bersenda gurau bersama anak dan cucuku? Tidak bisa mengobrol, bercanda dan bermain bersama mereka ketika aku tidak mampu lagi bergerak? Siapakah yang dapat aku ajak bicara ketika itu? Apakah aku harus menghabiskan sisa hidupku seorang diri berteman dinding tanpa bisa mendengar canda tawa sanak keluargaku?”

Iapun segera memanggil pembantunya agar memindahkan perabot di ruang tamu. Biasanya ruang tamu adalah ruangan yang paling bagus dan paling indah dalam sebuah rumah.

Iapun segera memindahkan tempat tidur mertuanya ke kamar tamu setelah memindahkan perabotan ruang tamu tersebut ke kamar yang berada di halaman rumah.

Ketika suaminya pulang betapa terkejut dan herannya ia dengan apa yang dilihatnya. Iapun bertanya kepada istrinya mengapa ia merubah desain ruang tamunya?

Iapun menjawab dengan air mata berlinang dari kedua matanya. Ia berkata, “Aku sengaja memilih ruangan yang paling bagus untuk kita apabila kelak Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kita umur panjang dan kita tidak mampu lagi bergerak. Dan biarkanlah ruang tamu berada di pekarangan rumah.

Si suamipun paham apa yang dimaksud oleh istrinya. Iapun memuji tindakan istrinya terhadap orang tuanya, yang memandangi mereka dan tersenyum dengan pandangan penuh keridhaan.

Lantas si anak menghapus gambarnya dan ter­senyum….

Dikutip dari kitab Qishahs Muatstsiratu fi Bir wa ‘Uquuqul Walidain dan telah di terbitkan oleh At-Tibyan dalam edisi Indonesia.

Sepenggal kisah di atas kiranya dapat dijadikan cerminan bagaimana menjadi anak yang berbakti dan menghargai orang tua kita. Sekaligus menjadi orang tua yang dapat diteladani bagi anak-anaknya. Orang tua teladan berarti orang tua yang dapat memberi; kasih sayang, perlindungan, perhatian, empati, keteguhan, kejujuran, pengertian, rasa aman, dukungan dan pujian kepada anak-anaknya. Sungguh, barangsiapa yang menanam kebaikan pasti akan memanen kebaikan pula, sebaliknya barangsiapa yang menanam kejelekan pasti ia akan memanen kejelekan pula.

Tidak sedikit pula pembahasan birrul walidain seringkali dibahas dalam beberapa kajian, salah satunya bisa anda dengar dan download di sini. Semoga kita digolongkan oleh Allah dalam golongan orang-orang yang shalih yang senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta berbakti kepada orang tua kita…amiin.
(sumber:an-naba.com)

Menghindar dari Fitnah Harta dan Anak

Menghindar dari Fitnah Harta dan Anak


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Munafiqun: 9)

Penjelasan Mufradat Ayat

ذِكْرِ اللهِ
“Mengingat Allah.”

Ada beberapa pendapat yang menjelaskan makna dzikrullah dalam ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah seluruh amalan wajib, sebagaimana yang diriwayatkan dari Al-Hasan, dan dikuatkan oleh Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir.

Adh-Dhahhak dan ‘Atha` menerangkan: “Yang dimaksud adalah shalat wajib.” Al-Kalbi berkata: “Yang dimaksud adalah berjihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ada lagi yang berpendapat: “Al-Qur`an.”
Yang shahih bahwa dzikrullah dalam ayat ini bersifat umum, mencakup semua yang mereka sebutkan, sebagaimana dikatakan Al-Alusi dalam tafsirnya.

Penjelasan Makna Ayat

Ketika menerangkan ayat ini, Al-Allamah As-Sa’di rahimahullahu mengatakan:

“(Allah) Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk memperbanyak berdzikir kepada-Nya, karena hal itu akan mendatangkan keberuntungan, kemenangan, dan kebaikan yang banyak. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga melarang mereka tersibukkan dengan harta dan anak-anak mereka dari berdzikir kepada-Nya. Karena mencintai harta dan anak-anak adalah sesuatu yang menjadi tabiat kebanyakan jiwa, sehingga akan menyebabkan lebih dia utamakan daripada kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hal itu akan mendatangkan kerugian yang besar. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ‘Barangsiapa yang melakukan itu’, yaitu harta dan anak melalaikannya dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘maka mereka itulah orang-orang yang merugi’ dari mendapatkan kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal, karena mereka lebih mengutamakan kehidupan yang fana daripada kehidupan yang kekal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15) [Taisir Al-Karim Ar-Rahman]

Al-Alusi berkata: “Janganlah karena mementingkan pengurusan (anak-anak dan harta) dan memerhatikan kemaslahatannya serta bersenang-senang dengannya, menyebabkan kalian tersibukkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa shalat dan ibadah-ibadah lainnya, yang akan mengingatkan kalian kepada sesembahan yang haq Subhanahu wa Ta’ala.” (Tafsir Al-Alusi)

Asy-Syaukani rahimahullahu menyebutkan bahwa harta dan anak-anak yang melalaikan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan salah satu akhlak kaum munafiqin. (Fathul Qadir)

Anak dan Harta Sebagai Perhiasan Dunia

Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini menjelaskan bahwa anak dan harta merupakan sebuah kesenangan dan perhiasan yang melengkapi kehidupan seseorang di dunia. Dengannya, dia merasakan kebahagiaan dan ketentraman dalam hidupnya. Di dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ. قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ وَاللهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Ali ‘Imran: 14-15)

Namun demikian, kebahagiaan dengan mendapatkan karunia berupa harta dan anak tidaklah sempurna, jika tidak dibarengi iman dan amal shalih yang akan menunjang kehidupan dan kebahagiaan dunia serta akhiratnya. Oleh karenanya, bagi seorang mukmin, kehidupan akhirat jauh lebih penting dan lebih utama daripada kehidupan dunia. Sehingga kesenangan yang dia rasakan di dunia tidak akan menjadi penyebab kelalaiannya untuk mengejar kehidupan yang lebih kekal dan kebahagiaan yang bersifat abadi di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)

Asy-Syinqithi rahimahullahu menerangkan: “Yang dimaksud ayat yang mulia ini adalah peringatan kepada manusia agar senantiasa beramal shalih, agar mereka tidak tersibukkan dengan perhiasan kehidupan dunia berupa harta dan anak-anak, dari sesuatu yang memberi manfaat kepada mereka di akhirat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa amalan-amalan yang shalih.” (Adhwa`ul Bayan, 4/80, cetakan Darul Hadits, Kairo)

Sehingga pada hakikatnya, di balik kesenangan dan kebahagiaan mendapatkan harta dan anak, keduanya merupakan ujian yang apabila seorang hamba tidak memanfaatkannya dengan baik maka dapat menyebabkan kebinasaan dan kehancuran kehidupan dunia serta akhiratnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)

Juga firman-Nya:

يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ. إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy-Syu’ara`: 88-89)

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memperingatkan umatnya dari bahaya fitnah (cobaan) harta dan anak. Di antaranya adalah yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya setiap umat mempunyai ujian, dan ujian bagi umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi no. 2336, dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 2148)

Demikian pula tentang anak, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْوَلَدَ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ

“Sesungguhnya anak itu penyebab kekikiran dan ketakutan.” (HR. lbnu Majah no. 3666, Al-Hakim dalam Mustadrak, 3/179, Al-Baihaqi, 10/202, Ibnu Abi Syaibah 6/378, Ath-Thabarani, 3/32, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’)

Al-Munawi berkata menjelaskan hadits ini: “Yaitu membawa kedua orangtuanya untuk berbuat bakhil dan mendorongnya untuk bersifat demikian sehingga dia menjadi kikir harta karenanya, serta meninggalkan jihad karenanya.

” Al-Mawardi berkata: “Hadits ini mengabarkan bahwa hendaknya seseorang berhati-hati terhadap anak, yang dapat menyebabkan munculnya sifat-sifat ini. Juga akan memunculkan akhlak yang demikian. Ada sebagian kaum yang membenci untuk meminta dikaruniai anak karena khawatir keadaan yang tidak mampu dia tolak dari dirinya, sebab menetapnya hal ini (pada diri manusia) secara alami dan mesti terjadi.” (Faidhul Qadir, 2/403)

Masing-masing Ada Saatnya

Dalam Shahih Muslim (no. 2750), dari sahabat Hanzhalah Al-Usayyidi radhiyallahu ‘anhu ­–salah seorang juru tulis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam– dia berkata: Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menemuiku lalu bertanya: “Bagaimana keadaanmu, wahai Hanzhalah?”

Beliau berkata: Aku menjawab: “Hanzhalah telah munafik!”

Abu Bakr berkata: “Subhanallah, apa yang engkau katakan?”
Aku berkata: “Tatkala kami berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kami tentang neraka dan surga, sehingga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala. Namun di saat kami keluar dari sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menyibukkan diri bersama istri, anak-anak dan kehidupan, sehingga kami banyak lupa.”

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pun berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti ini!”

Akupun berangkat bersama Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu hingga kami masuk ke tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata: “Hanzhalah telah munafik, wahai Rasulullah.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Ada apa?”
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, kami berada di sisimu, engkau mengingatkan kami dengan neraka dan surga sehingga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala. Namun jika kami keluar dari sisimu maka kamipun sibuk bersama istri, anak-anak, dan kehidupan sehingga kami banyak lupa.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً -ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sekiranya kalian terus-menerus (memiliki keimanan) seperti di saat kalian berada di sisiku dan selalu berdzikir, niscaya para malaikat akan menyalami kalian di atas tempat-tempat tidur dan di jalan-jalan (yang kalian lalui). Namun wahai Hanzhalah, masing-masing ada saatnya.” Beliau mengucapkannya tiga kali.

‘Ali Al-Qari berkata tatkala menjelaskan hadits ini: “Kesimpulan maknanya adalah: Wahai Hanzhalah, terus-menerus dalam keadaan yang disebutkan adalah satu kesulitan yang tidak seorang pun mampu melakukannya, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah membebani demikian. Namun yang sanggup dilakukan oleh kebanyakan adalah seseorang mempunyai waktu berada dalam keadaan seperti ini. Tidak ada dosa baginya menyibukkan dirinya untuk bersenang-senang dengan apa yang disebutkan di waktu yang lain. Engkau dalam keadaan tetap berada di atas jalan yang lurus. Tidak terdapat kemunafikan pada dirimu sama sekali seperti yang engkau sangka. Maka berhentilah dari keyakinanmu itu, karena sesungguhnya itu termasuk celah bagi setan untuk masuk kepada para ahli ibadah, yang akan mengubah mereka dari apa yang telah mereka amalkan. Sehingga mereka akan terus berusaha mengubahnya hingga mereka meninggalkan amalan tersebut.” (Mirqatul Mafatih, 5/150)

Hadits ini menunjukkan bahwa bukanlah satu hal yang tercela jika seseorang menyempatkan dirinya untuk bersenda gurau bersama istri dan anak-anaknya. Juga menyibukkan diri dengan usahanya dalam mencari nafkah. Asalkan perkara tersebut diberi porsi yang sesuai, tidak menyebabkannya lalai dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jangan pula sebaliknya, karena istri yang dapat menjadi penyebab fitnah, justru dijadikan alasan untuk tidak menikah. Atau anak dijadikan alasan penyebab fitnah, sehingga dia menelantarkan mereka dan tidak menyempatkan waktu bersamanya. Atau harta yang dapat menjadi penyebab fitnah sehingga meninggalkan mencari nafkah dan tidak menafkahi orang-orang yang wajib dia nafkahi. Namun semestinya semua itu ditempatkan sesuai kedudukannya, sehingga bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam sebuah hadits dari jalan ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, dia berkata: Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda`, Salman datang mengunjungi kepada Abud Darda`. Beliau melihat Ummud Darda` dalam keadaan lusuh. Beliau bertanya kepadanya: “Ada apa denganmu?” Ia menjawab: “Saudaramu Abud Darda` tidak punya kebutuhan terhadap dunia.” Lalu datanglah Abud Darda` dan membuatkan makanan untuknya. Abud Darda` lalu berkata: “Makanlah, karena sesungguhnya aku berpuasa.” Salman berkata: “Saya tidak akan makan hingga engkau makan.” “Maka diapun makan bersama Salman. Tatkala di malam hari Abud Darda` bangkit (untuk shalat), maka Salman berkata: “Tidurlah.” Lalu dia bangkit, lagi maka Salman berkata: “Tidurlah.” Sehingga tatkala di akhir malam Salman berkata:

“Bangunlah sekarang.” Lalu keduanya pun shalat. Lalu Salman berkata kepadanya: “Sesungguhnya atas diri ada hak untuk Rabb-mu, ada hak untuk dirimu, dan ada pula hak untuk keluargamu. Berikanlah hak tersebut kepada setiap yang memiliki haknya.” Lalu Abud Darda` datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan hal tersebut kepada beliau, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah benar Salman.” (HR. Al-Bukhari, no. 1867)

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami. Tiba-tiba datang Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma yang keduanya sedang memakai gamis berwarna merah dan keduanya terjatuh. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbarnya dan menggendong keduanya, lalu meletakkan keduanya di hadapannya. Lalu beliau berkata: “Maha benar Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika berfirman: ‘Sesungguhnya harta-harta dan anak-anak kalian adalah fitnah (ujian)’. Aku melihat dua anak kecil ini berjalan dan terjatuh, maka aku tidak bersabar, sehingga aku memutus khutbahku dan menggendong keduanya.” Kemudian beliau melanjutkan khutbahnya. (Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan, Ahmad, Ibnu Hibban dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’)

Demikian pula yang diriwayatkan dari Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma berada di atas pundaknya, lalu beliau bersabda: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya maka cintailah dia’.” (HR. Al-Bukhari no. 3749 dan Muslim no. 2422)

Maka, rasa cinta kepada seorang anak dan harta, seharusnya membawa dampak yang positif, yang semakin mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya. Dengan cara menginfakkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala jika itu berupa harta. Adapun anak adalah dengan mendidiknya dan membiasakannya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semenjak kecil.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa membimbing kita dan keluarga kita agar senantiasa menjadi hamba yang ikhlas, bersabar dan istiqamah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhkan kita dari fitnah serta penyebab jauhnya hamba dari beribadah kepada-Nya.

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً

“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan: 74)
Wallahu a’lam.



Dikatakan oleh seorang penyair:
“Betapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar
ternyata biang keroknya adalah pemahamannya yang salah
akan tetapi hendaknya akal itu bagi dalil berposisi
sebagai pemberi usulan dan pembantu pemahaman semata.”
(sumber :assunah-qatar.com)

Jumat, Maret 12, 2010

6 perkara untuk mendapat surga

Jaminlah Bagiku Enam Perkara, Aku Jamin Bagimu Surga
Oleh Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzak bin Abdulmuhsin al-Badr hafidhahullah ta’ala

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas pemimpin para Rasul, Nabi kita Muhammad. Juga atas keluarganya dan seluruh para sahabatnya. Wa ba’du.
Termasuk sesuatu yang dimaklumi oleh seluruh manusia bahwa kata “jaminan” akan anda dapati di kalangan manusia mendapat perhatian yang sangat besar. Kata ini senantiasa mengiringi aktifitas jual beli dan perniagaan mereka. Barang dagangan yang memiliki jaminan akan mendapat tempat tersendiri dibanding barang-barang yang tidak memilikinya. Ini menunjukkan, betapa tingginya perhatian manusia terhadap sesuatu yang memiliki jaminan tertentu, melebihi sesuatu yang tidak demikian, dengan perbedaan-perbedaan yang besar dari sisi-sisi kebenaran jaminan tersebut. Oleh karena itu, perhatian manusia terhadap hal ini semakin besar lagi. jika pemilik jaminan adalah orang yang dikenal memiliki sifat jujur, tepat janji dan amanah, maka perkara-perkara yang dengannya jaminan itu akan didapatkan, akan menjadi perkara yang mudah, tidak menyusahkan dan memberatkan manusia.
Bagaimana jika pemilik jaminan itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang benar dan dibenarkan. Orang yang tidak bertutur kata dengan hawa nafsunya, melainkan ia adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Dan bagaimana juga jika yang dijaminkannya adalah surga, yang luasnya seluas langit dan bumi. Yang isinya adalah sesuatu yang tidak pernah ada satu matapun yang pernah melihatnya, tidak ada satu telinga pun yang pernah mendengarnya dan tidak pernah terlintas sedikitpun dalam hati manusia. Bagitu juga bagaimana jika perkara-perkara yang dengannya dapat diraih jaminan ini adalah perkara-perkara mudah, perbuatan-perbuatan ringan yang tidak membutuhkan kerja keras dan beban berat.
Maka, renungkanlah –semoga Allah menjagamu- satu hadis tentang jaminan yang agung ini. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, al-Hakim dalam Mustadraknya dan yang lainnya, diterima dari Ubadah bin Shamith –Radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jaminlah bagiku enam perkara, maka aku akan menjamin bagimu surga; jujurlah jika kalian berbicara, tunaikanlah jika kalian berjanji, laksanakanlah jika kalian diamanahi, jagalah kemaluan kalian, tundukkan pandangan kalian dan cegahlah tangan kalian.” (lihat as-silsilah as-shahihah, Syaikh al-Bani –rahimahullah. No 1470)
Sesungguhnya ia adalah jaminan dengan jaminan dan penunaian dan penunaian.
“Jaminlah bagiku enam perkara, maka aku akan menjamin bagimu surga”
Enam amal yang sangat mudah, enam perkara kebaikan yang sangat ringan. Orang yang memperbuatnya dalam hidupnya dan menjaganya hingga akhir hayatnya, maka surga terjamin baginya. Perjalan kepadanya adalah sesuatu yang pasti dan terjamin.
“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat, masukilah syurga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.
(QS. Qaaf [50]: 31-35)

•Jujur dalam berkata
Seorang mukmin adalah orang yang jujur dan tidak mengenal kata dusta. Ia senantiasa menjaga kejujuran dalam hidupnya hingga hal itu mengantarkannya kepada surga. Dalam hadis, “Hendaknya kalian berlaku jujur, karena jujur mengantarkan pada perbuatan baik, dan perbuatan baik akan mengantarkan pada surga. Seseorang yang senantiasa jujur, bersungguh-sungguh memilih kejujuran, hingga Allah akan menetapkannya sebagai orang jujur.” (HR Muslim)
•Menunaikan janji dan komitmen terhadap akad
Ini adalah salah satu sifat orang-orang mukmin dan ciri orang-orang yang bertakwa. Mereka tidak mengenal ingkar dalam janji dan khianat dalam akad. Sifat menepati adalah sifat pokok dalam bangunan masyarakat islam, karena ia berhubungan dengan seluruh jenis pergaulan manusia. Seluruh bentuk interaksi manusia, hubungan-hubungan sosial dan jenis-jenis transaksi sangat ditentukan oleh sifat ini. Jika sifat ini hilang, hilang pulalah kepercayaan, hubungan manusia menjadi buruk dan saling curiga akan merebak.
•Melaksanakan amanah
Ia adalah diantara karakter positif terbesar, yang Allah memuji para pelakunya. Ia adalah diantara bentuk kesempurnaan iman seseorang dan kebaikan Islamnya. Dengan karakter amanah, maka agama, kehormatan, harta, jasad, jiwa, ilmu dan yang lainnya akan terjaga. Dalam hadis, “Seorang mukmin itu adalah orang yang manusia merasa aman dengannya atas harta dan jiwa mereka” (HR Ahmad). Jika amanah telah tersebar dalam masyarakat, maka jalinan antar mereka akan menjadi agung, pertaliannya akan menjadi kokoh serta kebaikan dan berkah akan meliputinya.
•Menjaga kemaluan
Maksudnya menjaga kemaluan dari perbuatan haram dan menjaganya agar tidak terjatuh pada kebatilan. “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka milik; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mukminun [23]: 5-7). Menjaga kemualuan berarti menjaga keturunan dan nasab, mensucikan masyarakat dan menjaga keselamatan dari segala bahaya dan penyakit.
•Menundukkan pandangan
Maksudnya dari melihat yang diharamkan. Allah berfirman, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya…” (QS. An-Nur [24]: 30-31). Menundukkan pandangan memiliki faidah yang agung. Ia akan mewariskan pada seorang hamba kelezatan iman, cahaya hati, kekokohan kalbu, kesucian jiwa dan keshalehannya. Padanya terdapat pencegah dari prilaku mencari-cari yang diharamkan dan kerinduan terhadap kebatilan.
•Menahan kedua tangan
Maksudnya adalah dari menyakiti sesama, atau menyebabkannya tertimpa keburukan. Orang yang menyakiti hamba-hamba Allah akan mendapat murka Allah, mendapat murka manusia dan masyarakat akan menjauhinya. Perbuatan ini adalah wujud dari akhlak buruk dan etika yang rendah. Sebaliknya, jika seseorang menjaga tangannya dari menyakiti sesama, maka itu adalah bukti atas kecerdasan akhlaknya, kemuliaan etikanya dan kebaikan pergaulannya. Ia pun akan mendapatkan janji Allah yang sangat agung kerena hal itu. Apalagi jika seseorang itu akhlaknya semakin tinggi, etikanya semakin mulia. Tidak hanya tidak menyakiti sesama, hingga dengan akhlaknya itu ia justru menyingkirkan sesuatu yang membahayakan dari jalan yang dilalui orang-orang mukmin. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang melewati ranting pohon di jalan, kemudian ia berkata: “demi Allah sungguh aku akan menyingkirkan ini agar tidak menyakiti orang-orang muslim” kemudian ia dimasukkan ke dalam surga.” (HR Muslim)
Itulah beberapa pintu surga yang tinggi, menaranya sangat nampak dan jalannya sangat mudah. Hendaknya kita menggunakan kesempatan itu sebelum ia tiada. Hendaknya kita memperbanyak kebaikan untuk diri kita sebelum kita wafat. Semoga Allah membantu kita semua meraih tempat mulia itu, memberi petunjuk (taufik) pada setiap kebaikan. Shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, para keluarganya dan seluruh para sahabatnya.

Diterjemahkan oleh Abu Khaleed Resa Gunarsa
Sumber : http://www.al-badr.net/web/index.php?page=article&action=article&article=3